Probenteng.com

Media Online Tangerang dan Sekitarnya

Cium Hajar Aswad atau Bantu Wanita Tua Terjepit?

PILIH mana, keinginan hati atau mewujudkan kepingan impian? Dua alternatif pilihan ini yang menghadang langkahku sejenak untuk berkeliling 2-3 putaran Kabah lagi dalam Tawaf Sunah, yang Insya Allah bisa membuatku mencium Hajar Aswad sebagai Batu Surga yang ada di bagian Kabah, Masjidil Haram, Kota Mekah.

Pilihan pertama, terus melanjutkan langkah tawaf bersama ribuan jemaah haji sedunia mengelilingi Kabah sambil terus mepet ke Kabah untuk mendekati Hajar Aswad dan Insya Allah bisa menciumnya.

Pilihan kedua, membantu seorang wanita tua asal Turki yang terjepit jejalan jemaah yang merangsek menuju Hajar Aswad yang berdampak menjauhkan langkahku menuju Hajar Aswad. “Waduh gimana nih…” batinku terbolak-balik secara kilat sambil mataku bergantian memandang Kabah dan wanita tua. “Duh…”

Beberapa detik berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil pilihan kedua, yaitu membantu wanita tua asal Turki yang butuh pertolongan. “Bulat tekad, kad!”bisik hatiku. Keputusan inipun, sekelebat membisikku, sebagai upaya mewujudkan kepingan impianku untuk bisa pergi haji bersama almarhumah ibuku.

“Karena aku melihat sosok wanita tua Turki itu bagai aku melihat  ibuku yang butuh pertolongan dari jepitan jejalan jemaah haji, wadow…” batinku.

[darsitek number=3 tag=”sembako”]

Yang pasti rasa iba segera menyergapku, maka sesegera aku raih tangannya yang terangkat-angkat ke atas meminta pertolongan dan merangkul pundaknya untuk mengeluarkannya dari jepitan orang-orang.

Alhamdulillah, tangannya bisa kuraih, yang lalu pundaknya kurangkul, serta dengan sigap aku tarik dan papah tubuhnya yang mungil lepas dari himpitan tubuh para jemaah haji sedunia yang besar-besar dan kokoh.

“Allahu Akbar…” batinku bersyukur bisa membantu wanita tua asal Turki itu dari himpitan orang-orang, yang bisa saja pada akhirnya membuat tubuhnya terjatuh dan terinjak-injak banyak kaki.

Lalu dengan bahasa isyarat dia menyampaikan terima-kasih, yang lalu dengan bahasa isyarat pula aku menjawabnya terima-kasih kembali. Kemudian aku memberi isyarat lagi, “apakah sudah tak apa-apa atau perlu dibantu ke tepian tempat longgar.”

Sekali lagi, dia memberi isyarat dirinya sudah tak apa-apa, lalu segera membalikkan badannnya. Sekejap kemudian, dirinya pun tak terlihat lagi karena sudah menyelinap ke tepian jemaah haji yang memenuhi Masjidil Haram, mungkin untuk mencari rombongannya.

Namun, seperti perkiraanku, barisan langkah tawafku pun semakin jauh dari Kabah, sehingga rasanya perlu usaha keras kembali untuk mencapai jarak 3 meteran ke Hajar Aswad. “Wah jauh dah. Ya udahlah, lain kali aku akan berusaha lagi menciummu Hajar Aswad, sesuai Sunah Rosulallah…”batinku.

Aku lalu jadi teringat pada siraman rohani seorang ustadz yang aku kagumi, yang menyatakan, “rasanya tak perlu terlalu ngotot mencium Hajar Aswad saat tawaf, bila untuk memenuhi keinginan itu kita harus menyakiti sesama jemaah dengan menyikut, menjepit, dan menyingkirkannya dari hadapan kita dengan kasar. Kan ajaran Islam melarang kita saling menyakiti sesama. Itu dosa…” Tanpa sadar aku pun manggut-manggut bagai burung pelatuk mengingatnya.

Pada hari berikutnya, kali ini saat aku melakukan Sai Sunnah, juga di bagian Masjidil Haram. Tiba-tiba ada sosok wanita tua Indonesia tercecer dari rombongan di pertengahan menuju Bukti Safa. “Nak… nak… tolong ibu nak! Ibu terpisah dari rombongan…” katanya kepadaku yang kebetulan sedang berlari kecil sejajar si ibu.

Lagi-lagi, aku melihatnya sebagai sosok ibuku yang minta ditemani. Maka tanpa banyak tanya, kecuali aku bilang, “ayo kita cari rombongan ibu.” Kemudian aku dampingi dirinya berjalan kaki, tak lagi berlari kecil menuju Bukit Safa.

Sesampai di Bukit Safa, meskipun mata si ibu berkeliaran menyapu bagian-bagian bukit, rombongannya tak terlihat. Lalu, kami pun kembali berjalan kaki, kali ini menuju Bukti Marwah. “Batinku kalau sampai gak ketemu juga, biar nanti aku antar ke maktabnya saja setelah selesai Sai.”

Namun, Alhamdulillah di Bukit Marwah, si ibu bertemu rombongannya. “Terima-kasih nak, tuh rombongan ibu,” katanya sambil menunjuk satu rombongan yang menggapaikan tangan kepadanya. Aku pun mengiyakan dan turut senang. Kemudian aku pamitan untuk meneruskan Sai dilepas pandangan si ibu.

Memahami kedua peristiwa ini, tentu saja, aku menjadi terhibur dengan pilihan-pilihan keputusanku yang akhirnya kunilai benar. “Allahu Akbar… Engkau Maha Suci yang mamahami isi hati hamba…” batinku mengingat memori 26 tahun lalu itu.

Ya inilah kisah kenanganku saat berhaji di tahun 1994 yang bisa dijadikan bahan hiburan bagi para sahabat jemaah calon haji yang batal naik haji di tahun ini karena dihentikan sementara oleh Kerajaan Saudi Arabia terkait Pandemi Covid-19.

Kisah inipun sebagai gambaran batinku mewujudkan kepingan impian hati yang ingin bisa pergi haji bersama ibuku, namun tak kesampaian karena ibuku telah wafat terlebih dahulu. Mudah-mudahan – atas Izin Allah SWT – Sang Maha Berkehendak – ini menjadi pengganti impianku untuk pergi haji bersama ibuku. Amin Ya Robbal Alamin. ***

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *