Probenteng.com

Media Online Tangerang dan Sekitarnya

Bantu Jumroh Berhadapan Tiang: Siap Dipungut Mantu

TIGA jemaah haji lansia itu sangat gembira saat menuturkan kisah mereka bisa melempar batu langsung berhadapan dengan tiang simbol setan saat prosesi Jumroh kepada para sahabat jemaah haji lainnya yang tengah bersantai menjelang magrib di Perkemahan Padang Arafah, Arab Saudi.

Kita mah puas bisa lempar batu langsung berhadapan tiang…” cetus satu jemaah lansia sambil terkekeh membuat sahabat jemaah haji yang lain iri, tetapi tetap saja mereka ikut bergembira mendengarnya. Lalu, 2 jemaah lansia lainnya menambahkan keseruan kisahnya, sehingga membuat mata para sahabat berbinar-binar. “Wah….” kata hatiku.

Caranya, tutur jemaah lansia tadi, “kita bergantian melempar batu dengan dijagai, tuh, si haji muda…” tambahnya sambil menunjuk diriku yang hanya bisa mesem mendengar ucapannya. Disebut haji muda karena waktu itu aku naik haji memang masih berumur 34 tahun dan kayaknya menjadi yang termuda dari serombongan sahabatku.

Ini adalah kisah berhaji kami di tahun 1994, yaitu 26 tahun lalu, yang sengaja aku berbagi cerita santainya sebagai pengobat rindu Naik Haji bagi jemaah calon haji Indonesia yang gagal berangkat di tahun ini karena Pandemi Corona.

[darsitek number=3 tag=”sembako”]

Saat di Padang Arafah, kami memang selalu beriringan pergi-pulang melontar jumroh dari perkemahan menuju lokasi Jumroh di Kota Mina, berjarak sekira 1,5 km. Rombongan berjalan kaki dengan satu sahabat berjalan di bagian depan memimpin dan 10 jemaah lainnya pria-wanita, bererotan di belakangnya. Maklum suasana jalan penuh dengan jemaah haji sedunia.

Namun, saat melempar batu, biasanya kami melakukannya masing-masing atau kalau suami-isteri maka mereka melempar dengan berduaan. Awalnya, di hari pertama Jumroh, aku melempar sendirian dan aku punya tekad untuk melempar batu kerikil dengan berhadapan tiang. Tentunya butuh tenaga untuk ikut merangsek ke depan. “Alhamdulillah bisa.

Setelahnya melempar batu, kami ke tepian luar lingkaran tiang Jumroh untuk kembali berkumpul, di tempat ditentukan sebelumnya. Begitu seterusnya sampai melempar di tiga tiang sebagai prosesi Jumroh.

Sepulangnya di perkemahan di hari pertama, masing-masing jemaah lalu bercerita pengalaman saat Jumroh. Giliran aku, beta bercerita bahwa dewek melempar langsung berhadapan dengan tiang.

Nah, di bagian cerita inilah yang mengundang 3 lansia yang kebetulan berhaji sorangan, tanpa isteri, langsung aja minta ikut. “Walah, walah…” batin waktu itu. Lalu aku sambung, “untuk sampai berhadapan tiang harus desak-desakan. Saat itu, kita kudu tangkas dan merangsek ke depan dengan saling mengalah kepada jemaah lain sedunia.”

Jawaban mereka setelah saling pandang, “siap…” Batinku membalas jawaban mereka dengan sekali lagi berucap, “walah, walah…” Setelahnya, kami berunding menyepakati cara melempar batu berhadapan tiang yang aman, nyaman, dan menyenangkan.

Mereka, 3 lansia, harus berada di belakangku sambil memegang kuat-kuat ikat pinggang biasa dipakai jemaah haji yang lebar, terikat kencang dan yang ada kantung uangnya, agar tak tercerai-berai. Hehehe.

Selanjutnya, setelah berhadapan tiang, aku duluan yang melempar batu. Berikutnya 3 sahabat lansia bergantian maju ke bagian depan dengan berpegangan untuk melempar batu. kemudian aku bersiaga menjagai mereka dengan merentangkan kedua tangan sambil menahan tubuh sahabat lansia saat melempar batu.

Praktik lapangannya, Alhamdulillah berhasil. Kami pun puas dengan strategi melempar batu berhadapan tiang, serupa yang banyak dilakukan jemaah haji asal Afrika, yang memang dikenal senangnya melempar batu berhadapan tiang.

Bahkan saking gemasnya, jemaah dari belahan lain dunia itu, di antara mereka, ada saja setelah 7 batunya habis dilempar, lalu melemparkan payung, sandal-sepatu, atau benda apa saja yang dibawanya. Kecuali duit kali ya?

Puas hatinya, 3 jemaah lansia sahabatku itu meminta esoknya strategi itu diterapkan lagi. Hasilnya sukses lagi, Alhamdulillah. Hasil ini, tentu saja, semakin membuat hati kami senang dan puas.

Hanya saja peciku hilang terpental karena terpukul jemaah haji lain saat berdesakan. Inipun, rasanya, disebabkan kesombonganku yang menyatakan, “peciku bisa menjadi helmku, biar kepala aman kalau kelemparan batu.

Sampai di cerita ini, tentu saja para sahabatku menjawabnya dengan tertawa seru, “hahaha…” Nah, di tengah tertawa itu, satu sahabat lansia segera berkata, “tenang ji, ana punya cadangan peci, bisa buat antum…” Peci cadangan diambil, lalu diserahkan kepadaku, cuma agak kekecilan. Tetapi aku senang aja nerimanya. “Pamali menolak…” batinku.

Pas di bagian serah-terima Peci yang terlihat bersuasana hangat, langsung saja satu sahabat lainnya bercetoleh, “sekalian ji pungut mantu.” Lalu ditambahkan sahabat lainnya, “haji muda kita ini baik orangnya.

Aya-aya wae…” gerutuku dalam hati dengan bibir tersenyum. Sahabatku masih menambahkan komentar-komentar serunya, yang kujawab dengan, “Ehm…

Uniknya sahabat lansia yang dinyatakan siap memungut mantu meneng wae dan terkesan setuju, “wah edan nih.” Sahabat lainnya nimpalin, “tanya dulu dia sudah beristeri belum? Kalau sudah beristeri, siap gak punya dua? Mau enggak? Anaknya cantik-cantik lho?”

Lagi-lagi, aku hanya bisa mesem doang, mengenang peristiwa 26 tahun lalu di Perkemahan Padang Arafah yang sesaat lagi kami akan kembali ke Mekah untuk menuntaskan prosesi berhaji, yaitu Tawaf, Sai dan Tahalul. ***

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *